Imel memang sudah bertunangan dengan Erik, bertunangan artinya dalam tahap melatih bagaimana menyesuaikan diri dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan citarasa pribadinya. Masa pertunangan merupakan masa perwujudan saling percaya dan saling membina. Itulah langkah pertama cinta yaitu mewujudkan tanggung jawab seorang aku terhadap seorang engkau.
Cinta memang lambang keabadian, bagi seorang wanita cinta adalah seluruh riwayat hidupnya, namun bagi seorang lelaki hanyalah sebuah episode. Pertunangan itu ideal namun perkawinanlah yang yang real. Imel sudah membayangkan akan mengenakan gaun putih dari kain yang bercahaya, wajahnya semakin cantik dengan riasan khas pengantin, kain tule sebagai kerudungnya, lalu dibelakangnya ada dua gadis kecil menjadi
'bruid-meisjes' yang mengangkat 'sluier' manakala kain panjang itu menyapu lantai gereja menuju altar.
Kemudian umat di kiri kanan akan berdiri mengikuti tangan sang pendeta yang berdiri di mimbar, sementara paduan suara dengan merdu bakal menyanyikan salah satu lagu ciptaan Mozart atau Bach. Namun lagu itu tak jadi merdu, justru berubah menjadi ratapan panjang, entah kapan berakhirnya.
Hampir tiga bulan hati Imel berkabung. Dan selama itu ia selalu mengigau, seakan ia tak percaya bahwa Erick tunangannya telah hilang di Gunung Merapi saat mendaki seorang diri. Mama papanya tak henti-henti menghibur dengan doa.
"Seperti Ayub, semakin dekat manusia pada Tuhannya, semakin sering pula dicobai iblis. Tetapi bila mampu bertahan, Tuhan akan memberi ganti lebih dari yang pernah ia punya." kata sang papa suatu kali.
"apa maksudnya papa selalu berbicara tentang GANTI? Papa mestinya tahu, tidak ada lelaki yang bisa mengggantikan Erik!" teriak Imel tak mampu menyumbat emosinya.
Sang papa tetap tenang, dengan lembut dan bijaksana dia meredam letupan emosi Imel.
"Nak, barangkali ini memang maksud Tuhan. Tuhan tak mungkin memutar dan mengubah masa lalu. Hidup seperti matahari, redup dan bersinar silih berganti. Kita harus bisa menerima kenyataan ini untuk mengurangi kesedihan hati."
"Tidak! Papa harusnya bilang kalau Erik masih hidup. Erik tidak mati!" teriak Imel histeris.
Sang papa semakin kuatir, sang mama sudah tak bisa membendung air matanya. Apakah anaknya sudah tidak waras? Dan kekuatiran itu semakin terjawab ketika paginya Imel menghilang, entah ke mana? Keduanya panik, segera menghubungi polisi dan semua orang ikut sibuk. Tapi semua tak
ada yang tahu keberadaannya.
*****
"Kau sungguh gila Imel, pergi diam-diam dan minggat ke rumahku, nanti aku dituduh menculikmu, gimana?!" kataku kaget ketika Imel pagi-pagi sudah menggedor rumahku tanpa memberitahu terlebih dahulu.
"Mas Toni, saya minta tolong," Imel meluncurkan kalimat pertamanya.
"Minta tolong apalagi Imel?"
"Antarkan aku naik ke Gunung Merapi?"
"Hah? Bukankah Erik sudah dinyatakan hilang oleh tim SAR dan para pendaki lain yang ikut mencarinya waktu itu. Untuk apa lagi naik ke sana?"
"Saya hanya percaya mas Toni sebagai teman paling dekatnya kak Erik. Saya penasaran dan merasa kak Erik masih hidup dan menungguku di puncak sana."
Aku tak bisa mengelak lagi, segera saja aku berkemas menyiapkan segala keperluan untuk mendaki seperti tenda, kompor gas kecil, nesting, senter, double jaket, celana, syal dan sebagainya, walau saya memastikan tidak akan naik sampai puncak, saya kuatirkan Imel tidak akan mampu bertahan dalam pendakian, karena ia memang tidak pernah mendaki gunung.
Dan mobil kami meluncur ke arah Jogya, ke desa Pakem. Karena dari jalur itulah dulu Erik naik ke puncak Gunung Merapi. Walau ia berangkat sendirian, tapi dalam pendakian sudah berteman dengan banyak pendaki lainnya.Sayang dalam pendakian itu Erik dinyatakan hilang. Berminggu-minggu ditelusuri berbagai sudut Merapi tak ada jejaknya sama sekali. Erik
dinyatakan hilang begitu saja.
*****
Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Sleman, menjadi tujuan pertama kami. Menemui Mbah Maridjan sebagai juru kuncinya dan menceritakan tujuan kami untuk pendakian ini. Dan Mbah Maridjan dengan senyum khasnya menceritakan keangkeran Gunung Merapi dengan bahasa Jawa khasnya.
Diceritakan bahwa Gunung Merapi ada penghuninya yang bertindak sebagai tokoh jahat yaitu Mak Lampir, tokoh setengah manusia setengah jin. Penguasa Merapi sendiri namanya Eyang Merapi, Gunung Merapi bila dilihat dengan mata batin adalah sebuah Keraton yang megah, namun tidak sembarang orang bisa melihatnya.
Si Mbah juga menceritakan tentang Pasar Bubrah atau Pasar Demit atau Pasar Setan. Sebuah tempat yang diyakini sebagai tempat yang paling angker sebagai tempat berkumpulnya para penduduk halus Merapi. Setiap malam jumat biasanya keramaian di Pasar Bubrah itu akan berlangsung hingga tengah malam. Biasanya akan terdengar suara gamelan dan gending Jawa mengalun menambah keriuhan pasar tersebut.
Kami mendengarkan cerita Mbah Maridjan sambil menikmati hidangan yang disediakan, segelas teh hangat, pohung godok dan beberapa makanan jajan pasar. Saya pun menterjemahkannya pada Imel yang mendengarkan dengan seksama. Maklum Imel orang Jakarta asli, tidak mengerti banyak
bahasa Jawa.
Kurang lebih pukul sembilan pagi, saya mohon izin Mbah Maridjan untuk naik dan saya mengatakan tidak akan sampai puncak, paling sampai Pasar Bubrah terus turun kembali. Mbah Maridjan mengangguk dan akan menunggunya.
*****
Sinar mentari mulai menampakkan keperkasaannya dari ketinggian 2900 Dpl ini. Saya lihat Imel terengah-engah di belakangku, tapi semangatnya begitu membara. Jalanan berbatu yang terjal disertai angin kencang menjadi teman kami. Namun sebelum sampai Pasar Bubrah Imel sudah mengajak duduk beristirahat sambil membuka minumannya.
Pepohonan di sekililing kami begitu sunyi, hanya desau angin seperti suara simpony alam yang saling bersahutan. Tiba-tiba ada kelebatan bayangan melintas di depan kami, kurang lebih 10 meter dari kami duduk ini.
"Mas Toni, kamu ngeliat nggak?" tanya Imel setengah berbisik.
"Ya saya melihatnya. Ia berhenti di sana, sepertinya tengah mencari sesuatu. Mari kita hampiri." kataku sambil menggandeng Imel.
Langkah kami semakin dekat, namun bayangan hitam itu memang berbaju hitam, tidak berusaha menghindar. Sosok itu mengenakan caping, topi yang terbuat dari anyaman bambu. Saya pun menyapanya.
"Sugeng enjing pak! (Selamat pagi pak!)." Ia memandang kami sebentar lalu melanjutkan kesibukannya, mencari rerumputan.
"Kalian mau mencari apa kok duduk di sini?" katanya pelan, masih tak memandang kami.
"Saya mengantarkan teman saya ini dalam mencari jejak kekasihnya yang 3 bulan lalu hilang di Gunung Merapi ini."
"Banyak orang hilang di sini, percuma kalian mencarinya." jawabnya singkat. Yang membuat saya agak heran, logat bicaranya orang ini tidak seperti penduduk asli di sekitar Merapi yang kebanyakan memakai bahasa Jawa, tapi ia begitu fasih berbahasa Indonesia.
Mendadak saja Imel duduk dan sesenggukan, ia seperti mengingat Erik dan tak mampu membendung kesedihannya. Sosok hitam itu tiba-tiba menghentikan aktivitasnya menyabit rumput dan berkata : "Sudahlah nona, jangan menangis."
Imel terdiam. DIa mendongak dan bangkit menghampiri orang tersebut. Ketika melihatnya, sejenak langkahnya terhenti, orang tersebut wajahnya jelek sekali, seluruh mukanya seperti bekas jahitan. Walau demikian Imel tak memperdulikannya.
"Nona?" desis Imel seakan tak percaya bahwa kata itu diucapkan oleh lelaki bermuka menyeramkan itu. "Kenapa kau panggil aku Nona?"
"Saya tidak tahan melihat kau menangis seperti itu," jawabnya.
"Tapi dari mana kau tahu saya Nona. Dalam hidupku hanya Erik yang memanggilku Nona. Itu nama kesayangan buat aku."
"Saya tahu,"
"Dari mana kau tahu?" tanya Imel penasaran. Orang itu tidak menjawab, tapi berdiri menjauh. Imel semakin penasaran, tanpa takut ia mengejarnya, aku mengikutinya dari belakang.
"Tolong jawab, dari mana kau tahu? Apa kak Erik masih hidup? Dan ia menceritakan tentangku padamu?"
"Tidak."
"Terus?"
"Sebenarnya Erik masih hidup." jawab itu membuat Imel tersentak dan ia semakin tajam memandang lelaki bertampang seram itu.
"Benarkah katamu?"
"Benar, tapi ia tak berani menemuimu, sebab wajahnya telah rusak ketika terpeleset ke jurang."
"Apa?"
"Ya, Erik tahu dia tidak pantas lagi menjadi calon suamimu. Seluruh tubuhnya cacat!"
Imel menjerit tubuhnya lunglai, aku langsung memeluknya. Ia menangis dalam pelukanku.
"Kak Erik, aku tahu kau masih hidup. Aku tahu, sebab aku mendengar Tuhan menjawab dalam doa-doaku setiap malam....." desisnya sesenggukan. Aku membimbingnya untuk turun saja. Dan sosok berbaju hitam dan berwajah menyeramkan itu sudah menghilang di balik rimbun pepohonan.
SEKIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar