Jumat, 19 November 2010

Ramalan Jayabaya

Ramalan Jayabaya
Jayabaya adalah Raja Kediri pada masa 1135 - 1157 bergelar Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara
MadhuSudana Awataranindhita Suhtrisingha Para Krama Utunggadewa. Dalam kitab Musasar gubahan Sunan Giri Prapen
tersurat kejayaan Raja Jayabaya.
Penggagas tulisan dan rangkuman Ramalan Jayabaya kedalam kitab Jangka Jayabaya adalah Pangeran Kadilangu II tahun
1741 - 1743. Pangeran Kadilangu II adalah Keturunan Sunan Kalijaga( Yang Berhasil menyakinkan Brawijaya V untuk masuk
Islam setelah pertemuan segiempat bersama dengan penasehat kerajaan Majapahit SabdaPalon dan Naya Genggong).
Pada Masa Sri Paku Buwana II, Pangeran Kadilangu II sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura, menulis berbagai
buku penting mengenai Kebudayaan Nusantara seperti Babad Padjajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Ba-
bad Mataram, Raja Kapa - kapa, Sejarah Empu.Menarik untuk kita simak Petilan Ramalan Jayabaya dalam kitab Jangka Jayabaya
• Pancen wolak - waliking jaman, amenangi Jaman edan.
• Ora edan ora kumanan/ Sing waras padha nggagas
• Wong tani padha ditaleni/ wong dora padha ura - ura
• Beja - bejane sing lali isih beja kang eling lan waspadha
• Wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil
• Sing ora bisa maling digethingi/ sing pinter duraka dadi kanca
• Wong bener sansaya thenger - thenger/wong salah sansaya bungah
• Akeh kandha musnah tan karuan larine
• Akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebab
• Akeh wong nglanggar sumpahe dhewe/ manungsa padha seneng ngalap
• Tan anindakake hukuming Alloh
• Barang jahat diangkat - angkat / barang suci dibenci
• Sing edan padha bisa dandan
• Sing ambangkang padha bisa nggalang omah gedong magrong- magrong
Terjemahan/ transliterasi Indonesia
• Sungguh zaman gonjang - ganjing menyaksikan zaman gila
• Tidak ikut gila dapat bagian/ yang sehat pada olah pikir
• Para petani dibelenggu/para pembohong bersuka ria
• Beruntunglah bagi yang lupa/masih lebih beruntung yang ingat dan waspada
• Orang waras dan adil hidupnya memprihatikan dan terkucil
• Yang tidak dapat mencuri dibenci/yang pintar curang jadi teman
• Orang jujur semakin tak berkutik/ orang salah makin pongah
• Banyak harta musnah tak jelas larinya
• Banyak Pangkat dan kedudukan lepas tanpa sebab
• Banyak orang berjanji diingkari. melanggar sumpahnya sendiri/ manusia senang menipu
• Tidak melaksanakan hukum Alloh
• Hal jahat dipuja - puja/ barang suci dibenci
• Yang gila dapat berdandan
• Yang membangkang bisa bangun rumah gedung mewah - megah
saya ringkas dari kolom opini Kompas Sabtu 10-04-2010
penulis asli Jaya Suprana

Rabu, 17 November 2010

Penampakan Hantu Gunung Merapi

http://gambarfotohantu.com/wp-content/uploads/2008/05/hantu-kepala311.jpg
Imel memang sudah bertunangan dengan Erik, bertunangan artinya dalam tahap melatih bagaimana menyesuaikan diri dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan citarasa pribadinya. Masa pertunangan merupakan masa perwujudan saling percaya dan saling membina. Itulah langkah pertama cinta yaitu mewujudkan tanggung jawab seorang aku terhadap seorang engkau.
Cinta memang lambang keabadian, bagi seorang wanita cinta adalah seluruh riwayat hidupnya, namun bagi seorang lelaki hanyalah sebuah episode. Pertunangan itu ideal namun perkawinanlah yang yang real. Imel sudah membayangkan akan mengenakan gaun putih dari kain yang bercahaya, wajahnya semakin cantik dengan riasan khas pengantin, kain tule sebagai kerudungnya, lalu dibelakangnya ada dua gadis kecil menjadi 
'bruid-meisjes' yang mengangkat 'sluier' manakala kain panjang itu menyapu lantai gereja menuju altar.
Kemudian umat di kiri kanan akan berdiri mengikuti tangan sang pendeta yang berdiri di mimbar, sementara paduan suara dengan merdu bakal menyanyikan salah satu lagu ciptaan Mozart atau Bach. Namun lagu itu tak jadi merdu, justru berubah menjadi ratapan panjang, entah kapan berakhirnya.
Hampir tiga bulan hati Imel berkabung. Dan selama itu ia selalu mengigau, seakan ia tak percaya bahwa Erick tunangannya telah hilang di Gunung Merapi saat mendaki seorang diri. Mama papanya tak henti-henti menghibur dengan doa.
"Seperti Ayub, semakin dekat manusia pada Tuhannya, semakin sering pula dicobai iblis. Tetapi bila mampu bertahan, Tuhan akan memberi ganti lebih dari yang pernah ia punya." kata sang papa suatu kali.
"apa maksudnya papa selalu berbicara tentang GANTI? Papa mestinya tahu, tidak ada lelaki yang bisa mengggantikan Erik!" teriak Imel tak mampu menyumbat emosinya.
Sang papa tetap tenang, dengan lembut dan bijaksana dia meredam letupan emosi Imel.
"Nak, barangkali ini memang maksud Tuhan. Tuhan tak mungkin memutar dan mengubah masa lalu. Hidup seperti matahari, redup dan bersinar silih berganti. Kita harus bisa menerima kenyataan ini untuk mengurangi kesedihan hati."
"Tidak! Papa harusnya bilang kalau Erik masih hidup. Erik tidak mati!" teriak Imel histeris.
Sang papa semakin kuatir, sang mama sudah tak bisa membendung air matanya. Apakah anaknya sudah tidak waras? Dan kekuatiran itu semakin terjawab ketika paginya Imel menghilang, entah ke mana? Keduanya panik, segera menghubungi polisi dan semua orang ikut sibuk. Tapi semua tak 
ada yang tahu keberadaannya.
 *****
"Kau sungguh gila Imel, pergi diam-diam dan minggat ke rumahku, nanti aku dituduh menculikmu, gimana?!" kataku kaget ketika Imel pagi-pagi sudah menggedor rumahku tanpa memberitahu terlebih dahulu.
"Mas Toni, saya minta tolong," Imel meluncurkan kalimat pertamanya.
"Minta tolong apalagi Imel?"
"Antarkan aku naik ke Gunung Merapi?"
"Hah? Bukankah Erik sudah dinyatakan hilang oleh tim SAR dan para pendaki lain yang ikut mencarinya waktu itu. Untuk apa lagi naik ke sana?"
"Saya hanya percaya mas Toni sebagai teman paling dekatnya kak Erik. Saya penasaran dan merasa kak Erik masih hidup dan menungguku di puncak sana."
Aku tak bisa mengelak lagi, segera saja aku berkemas menyiapkan segala keperluan untuk mendaki seperti  tenda, kompor gas kecil, nesting, senter, double jaket, celana, syal dan sebagainya, walau saya memastikan tidak akan naik sampai puncak, saya kuatirkan Imel tidak akan mampu bertahan dalam pendakian, karena ia memang tidak pernah mendaki gunung.
 Dan mobil kami meluncur ke arah Jogya, ke desa Pakem. Karena dari jalur itulah dulu Erik naik ke puncak Gunung Merapi. Walau ia berangkat sendirian, tapi dalam pendakian sudah berteman dengan banyak pendaki lainnya.Sayang dalam pendakian itu Erik dinyatakan hilang. Berminggu-minggu ditelusuri berbagai sudut Merapi tak ada jejaknya sama sekali. Erik 
dinyatakan hilang begitu saja.
*****
Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Sleman, menjadi tujuan pertama kami. Menemui Mbah Maridjan sebagai juru kuncinya dan menceritakan tujuan kami untuk pendakian ini. Dan Mbah Maridjan dengan senyum khasnya menceritakan keangkeran Gunung Merapi dengan bahasa Jawa khasnya.
Diceritakan bahwa Gunung Merapi ada penghuninya yang bertindak sebagai tokoh jahat yaitu Mak Lampir, tokoh setengah manusia setengah jin. Penguasa Merapi sendiri namanya Eyang Merapi, Gunung Merapi bila dilihat dengan mata batin adalah sebuah Keraton yang megah, namun tidak sembarang orang bisa melihatnya.
Si Mbah juga menceritakan tentang Pasar Bubrah atau Pasar Demit atau Pasar Setan. Sebuah tempat yang diyakini sebagai tempat yang paling angker sebagai tempat berkumpulnya para penduduk halus Merapi. Setiap malam jumat biasanya keramaian di Pasar Bubrah itu akan berlangsung hingga tengah malam. Biasanya akan terdengar suara gamelan dan  gending Jawa mengalun menambah keriuhan pasar tersebut.
Kami mendengarkan cerita Mbah Maridjan sambil menikmati hidangan yang disediakan, segelas teh hangat, pohung godok dan beberapa makanan jajan pasar. Saya pun menterjemahkannya pada Imel yang mendengarkan dengan seksama. Maklum Imel orang Jakarta asli, tidak mengerti banyak 
bahasa Jawa.
Kurang lebih pukul sembilan pagi, saya mohon izin Mbah Maridjan untuk naik dan saya mengatakan tidak akan sampai puncak, paling sampai Pasar Bubrah terus turun kembali. Mbah Maridjan mengangguk dan akan menunggunya.
*****
Sinar mentari mulai menampakkan keperkasaannya dari ketinggian 2900 Dpl ini. Saya lihat Imel terengah-engah di belakangku, tapi semangatnya begitu membara. Jalanan berbatu yang terjal disertai angin kencang menjadi teman kami. Namun sebelum sampai Pasar Bubrah Imel sudah mengajak duduk beristirahat sambil membuka minumannya.
Pepohonan di sekililing kami begitu sunyi, hanya desau angin seperti suara simpony alam yang saling bersahutan. Tiba-tiba ada kelebatan bayangan melintas di depan kami, kurang lebih 10 meter dari kami duduk ini.
"Mas Toni, kamu ngeliat nggak?" tanya Imel setengah berbisik.
"Ya saya melihatnya. Ia berhenti di sana, sepertinya tengah mencari sesuatu. Mari kita hampiri." kataku sambil menggandeng Imel.
Langkah kami semakin dekat, namun bayangan hitam itu memang berbaju hitam, tidak berusaha menghindar. Sosok itu mengenakan caping, topi yang terbuat dari anyaman bambu. Saya pun menyapanya.
"Sugeng enjing pak! (Selamat pagi pak!)." Ia memandang kami sebentar lalu melanjutkan kesibukannya, mencari rerumputan.
"Kalian mau mencari apa kok duduk di sini?" katanya pelan, masih tak memandang kami.
"Saya mengantarkan teman saya ini dalam mencari jejak kekasihnya yang 3 bulan lalu hilang di Gunung Merapi ini."
"Banyak orang hilang di sini, percuma kalian mencarinya." jawabnya singkat. Yang membuat saya agak heran, logat bicaranya orang ini tidak seperti penduduk asli di sekitar Merapi yang kebanyakan memakai bahasa Jawa, tapi ia begitu fasih berbahasa Indonesia.
Mendadak saja Imel duduk dan sesenggukan, ia seperti mengingat Erik dan tak mampu membendung kesedihannya. Sosok hitam itu tiba-tiba menghentikan aktivitasnya menyabit rumput dan berkata : "Sudahlah nona, jangan menangis."
Imel terdiam. DIa mendongak dan bangkit menghampiri orang tersebut. Ketika melihatnya, sejenak langkahnya terhenti, orang tersebut wajahnya jelek sekali, seluruh mukanya seperti bekas jahitan. Walau demikian Imel tak memperdulikannya.
"Nona?" desis Imel seakan tak percaya bahwa kata itu diucapkan oleh lelaki bermuka menyeramkan itu. "Kenapa kau panggil aku Nona?"
"Saya tidak tahan melihat kau menangis seperti itu," jawabnya.
"Tapi dari mana kau tahu saya Nona. Dalam hidupku hanya Erik yang memanggilku Nona. Itu nama kesayangan buat aku."
"Saya tahu,"
"Dari mana kau tahu?" tanya Imel penasaran. Orang itu tidak menjawab, tapi berdiri menjauh. Imel semakin penasaran, tanpa takut ia mengejarnya, aku mengikutinya dari belakang.
"Tolong jawab, dari mana kau tahu? Apa kak Erik masih hidup? Dan ia menceritakan tentangku padamu?"
"Tidak."
"Terus?"
"Sebenarnya Erik masih hidup." jawab itu membuat Imel tersentak dan ia semakin tajam memandang lelaki bertampang seram itu.
"Benarkah katamu?"
"Benar, tapi ia tak berani menemuimu, sebab wajahnya telah rusak ketika terpeleset ke jurang."
"Apa?"
"Ya, Erik tahu dia tidak pantas lagi menjadi calon suamimu. Seluruh tubuhnya cacat!"
Imel menjerit tubuhnya lunglai, aku langsung memeluknya. Ia menangis dalam pelukanku.
"Kak Erik, aku tahu kau masih hidup. Aku tahu, sebab aku mendengar Tuhan menjawab dalam doa-doaku setiap malam....." desisnya sesenggukan. Aku membimbingnya untuk turun saja. Dan sosok berbaju hitam dan berwajah menyeramkan itu sudah menghilang di balik rimbun pepohonan.
SEKIAN

Mbah Maridjan Dikawal Lengkap Ketika Menghadap Eyang Merapi

http://4.bp.blogspot.com/_19j87EQervM/RiToqbrM3pI/AAAAAAAAAUQ/BV7fsAbQCcs/s320/mbah%2Bmarijan.jpg
Orang Jawa dalam kehidupannya sejak zaman prasejarah bahkan sampai sekarang masih memegang kuat KEPERCAYAAN terhadap hal-hal yang berbau mistik. Hal demikian tidak lepas dari unsur Sejarah, unsur Agama (terutama Hindu dan Budha) dan unsur kepercayaan Animisme. Sebab kepercayaan manusia diresmikan dengan legenda dan setiap legenda didasarkan pada sejarah.
Orang yang tinggal di daerah Gunung Merapi percaya bahwa ada Keraton Mahluk Halus di gunungnya yang mirip Kraton Mataram dalam dunia manusia. Maka tak heran bila nama Eyang Merapi dianggap sebagai penguasa alias pimpinan seluruh lelembut  penghuni Gunung Merapi. Bahkan para praktikan kebatinan mampu melihat kemegahan Keraton Merapi yang indah gemerlap tersebut dengan mata batinnya.
Eyang Merapi tidak sendiri dalam mendiami Gunung teraktif di dunia ini, ada Eyang Panembahan Sapu Jagat yang diberi kepercayaan sebagai juru kunci kawah Merapi, yang berkuasa untuk membuka kawah bila sudah tiba saatnya akan meletus. Eyang Sapu Jagat mempunyai staf juga yaitu Kyai Grinjing Wesi dan Kyai Grinjing Kawat.
http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQ2TMKbxn9rrKnLTtcDnvM68Ff6fdg5YQft3fWLYrshUHEl4kc&t=1&usg=__Sid0b06NjDzl1rf6_uqakCi2IBw=
Pembantu Eyang Merapi lainnya adalah Eyang Megantara yang memiliki kewenangan mengendalikan cuaca di sekitar Merapi, hujan atau panas tergantung Eyang Megantara. Eyang Merapi juga menugaskan Nyi Gadung Melati untuk menjaga kesuburan tetumbuhan di sekitar Merapi. Tokoh berikutnya sebagai pembantu Penguasa Merapi adalah Eyang Antaboga. Makhluk dari bangsa jin ini mendapat tugas cukup berat karena harus selalu menjaga keseimbangan gunung agar tidak melorot tenggelam ke dasar bumi.
Adalagi nama tokoh yang sering disebut masyarakat sekitar Gunung Merapi yaitu Kyai Petruk. Pemuka jin ini bertugas memberi wangsit mengenai waktu meletusnya Merapi, termasuk juga memberi kiat-kiat tertentu kepada penduduk agar terhindar dari ancaman bahaya lahar panas Merapi. Dipundak jin inilah keselamatan penduduk tergantung. Sedang pemimpin roh halus ketujuh yang khusus mengatur arah angin adalah Kyai Sapu Angin. Pemuka jin kedelapan yang tugasnya menjaga sembari mengatur teras keraton Merapi adalah Kyai Wola-Wali.
Adapun Kartadimejo, tokoh kesembilan ini bertugas sebagai komandan pasukan makhluk halus sekaligus menjaga ternak serta satwa gunung, termasuk memberi kepastian kepada penduduk tentang kapan tepatnya Merapi meletus. Jin terakhir ini kerap mendatangi penduduk sehingga namanya cukup terkenal di kalangan penduduk Merapi.
Seperti layaknya sebuah Keraton, tentu saja masih banyak tokoh-tokoh yang mendiami Keraton Merapi selain yang sudah disebutkan di atas.
Mbah Maridjan sendiri konon mampu berkomunikasi dengan beberapa penunggu Gunung Merapi, maka tak heran dia selalu menunggu WANGSIT dari Kyai Petruk untuk tindakan selanjutnya bila Gunung Merapi mengeluarkan gelagat mau meletus. Lewat Kyai Petruklah Mbah Maridjan sudah puluhan tahun menjadi Juru Kunci Gunung Merapi selalu selamat dari akibat letusannya.
Selama ini memang sudah terbukti bahwa dimana Mbah Maridjan tinggal yaitu desa Kinahrejo  selalu luput dari ancaman bahaya lahar panas atau Wedhus Gembelnya Merapi, desa yang konon termasuk desa kesayangan Eyang Merapi itu juga menjadi sebuah representasi dari sebuah suasana kehidupan yang serba nyaman dan tentram.
Dalam bahasa Mbah Maridjan alias Raden Mas Panewu Surakso Hargo ini bahwa gejolak di Gunung Merapi diterjemahkan sebagai “eyang” yang melenggahinya sedang punya hajat membangun “keraton”. Mbah Maridjan yang pantang menggunakan istilah “Gunung Merapi meletus”, menjelaskan bahwa di saat eyang sedang punya hajat semua orang di lingkungan Merapi harus sabar, tabah dan tawakal.
Memang letusan Merapi tahun ini cukup hebat dan berlangsung cukup lama, konon Eyang Merapi tengah punya HAJAT BESAR yang dimulai sejak tanggal 10-10-2010 lalu. Untuk itu ia mengundang juru kunci Merapi sebagai wakil dari Keraton Jogjakarta untuk menghadap ke Keratonnya. Mbah Maridjan mungkin sudah menerima wangsit yang berupa “undangan” dari Eyang Merapi, maka ia tak beranjak untuk meninggalkan kediamannya demi menerima undangan sang penguasa Gunung Merapi itu.
Desa Kinahrejo akhirnya menjadi sasaran letusan Gunung Merapi setelah sekian puluh tahun selalu selamat, dalam terawang mistik, Mbah Maridjan dijemput para pengawal Eyang Merapi untuk berangkat ke Keratonnya. Namun Mbah Maridjan tidak berangkat sendirian, ia juga “membawa” pengawal lengkap, mulai dari tenaga medis dari PMI, Wartawan dari Vivanews, Tentara Nasional Indonesia (TNI), juga warga biasa dengan berbagai profesi, yang meninggal bersama Mbah Maridjan saat itu. Meninggalnya Mbah Maridjan dalam posisi bersujud itu bisa ditafsirkan dari sisi mistik bahwa Mbah Maridjan memang tengah sujud kepada utusan Eyang Merapi yang mengundangnya.
Sementara ahli Numerologi juga mempunyai catatan tersendiri tentang Mbah Maridjan ditinjau dari angka-angka kejadian, makna nama sang Juru Kunci berikut tanggal bulan dan tahun peristiwanya.
http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSuHMb6HtLIDzInWmV2t6uWMNs04gUwU91pzgktYsLdSfwaO_w&t=1&usg=__MktF5Coim-yGnWcQFdwapeJn2Z4=
Lepas dari cerita di atas, memang seluruh kepercayaan manusia Jawa terhadap gunung berunsur kepercayaan animisme dari zaman prasejarah sampai sekarang, termasuk kepercayaan tentang mahluk halus, roh leluhur yang mendiami macam-macam tempat adalah kepercayaan animisme. Walau demikian ada unsur positif dalam setiap ritual kepercayaan itu, bekerjasama menjaga alam dan seisinya sebagai salah satu amanat Tuhan Allah kepada manusia. Setiap Gunung mempunyai cerita mistisnya, alam raya menyimpan banyak misterinya, dan budaya Jawa melakukan ritual tradisinya sebagai unsur peninggalan nenek moyang yang tak lepas dari fungsi sebuah Keraton sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Negara mawa tata, desa mawa cara artinya negara punya peraturan, desa dengan tradisinya. Setiap desa memiliki tradisi sendiri yang berbeda dengan desa yang lain. Tiap-tiap negara atau daerah memiliki keunikan tersendiri, entah dari segi bahasa, seni, budaya, atau adat istiadat. Tidak bisa dikatakan begitu saja mana yang lebih baik atau mana yang lebih buruk, tergantung pada warganegara atau penduduknya menghayati adat atau tradisi mereka.
Gunung Merapi mempunyai tradisi, Eyang Merapi yang mendiami, Orang Jawa NGALAP BERKAH jangan disalahkan, sebab menurut filosofi kerohanian Jawa, dibenarkan.

Gunung Merapi Meletus | detik-detik Merapi Meletus




Gunung merapi meletus pada hari Selasa kemarin tepatnya tanggal 25 Oktober 2010 pukul 17.00 wib dan dengan peristiwa meletusnya gunung merapi ini tercatat ada belasan korban yang telah berhil di evakusai ke rumah sakit, dan menurut kabar mbah marijan meninggal dunia dengan peristiwa merapi meletus ini, berikut ini detik-detik gunung yang masuk dalam salah satu gunung berapi paling aktif di dunia ini melakukan aktivitas vulkaniknya

Gunung Merapi Meletus
Setelah beberapa hari aktifitas vulkanik G. Merapi terus mengalami peningkatan secara signtfikan baik jumlah maupun energi gempabumi vulkanik, Selasa (26/10) sore G. Merapi memasuki fase erupsi. Berikut dibawah ini kronologis letusan G. Merapi yang terjadi Selasa sore hingga menjelang malam.

1. Pukul 17.02 mulai terjadi awanpanas selama 9 menit
2. Pukul 17.18 terjadi awanpanas selama 4 menit
3. Pukul 17.23 terjadi awanpanas selama 5 menit
4. Pukul 17.30 terjadi awanpanas selama 2 menit
5. Pukul 17.37 terjadi awanpanas selama 2 menit
6. Pukul 17.42 terjadi awanpanas besar selama 33 menit
7. Pukul 18.00 sampai dengan 18.45 terdengar suara gemuruh dari Pos Pengamatan Merapi di Jrakah dan Selo
8. Pukul 18.10, pukul 18.15, pukul 18.25 terdengan suara dentuman
9. Pukul 18.16 terjadi awanpanas selama 5 menit
10. Pukul 18.21 terjadi awanpanas besar selama 33 menit
11. Dari pos Pengamatan Gunung Merapi Selo terlihat nyala api bersama kolom asap membubung ke atas setinggi 1,5 km dari puncak Gunung Merapi
12. Pukul 18.54 aktivitas awanpanas mulai mereda
13. Luncuran awanpanas mengarah kesektor Barat-Barat Daya dan sektor Selatan-Tenggara


Kronologi dikutip dari Letusan Gunung Merapi Tanggal 26 Oktober 2010 yang dikeluarkan oleh a.n Kepala Badan Geologi, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.

Gunung Merapi merupakan gunungapi tipe strato, dengan ketinggian 2.980 meter dari permukaan laut. Secara geografis terletak pada posisi 7° 325' Lintang Selatan dan 110° 26.5' Bujur Timur. secara administratif terletak pada 4 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyalali dan Kabupaten Klaten. Status kegiatan G. Merapi ditingkatkan dari Normal manjadi Waspada pada tanggal 20 September 2010, ditingkatkan menjadi Siaga pada 21 Oktober 2010 dan menjadi Awas, terhitung sejak 25 Oktober 2010

Semenjak Gunung merapi meletus tersebut sudah belasan orang dipastikan meninggal dunia dan telah di bawa ke rumah sakit terdekat,

Gunung Merapi


Gunung Merapi (2914 meter) hingga saat ini masih dianggap sebagai gunung berapi aktif dan paling berbahaya di Indonesia, namun menawarkan panorama dan atraksi alam yang indah dan menakjubkan. Secara geografis terletak di perbatasan Kabupaten Sleman (DIY), Kabupaten Magelang (Jateng), Kabupaten Boyolali (Jateng) dan Kabupaten Klaten (Jateng). Berjarak 30 Km ke arah utara Kota Yogyakarta, 27 Km ke arah Timur dari Kota Magelang, 20 Km ke arah barat dari Kota Boyolali dan 25 Km ke arah utara dari Kota Klaten.


Menurut Atlas Tropische Van Nederland lembar 21 (1938) terletak pada posisi geografi 7 derajad 32.5' Lintang Selatan dan 110 derajad 26.5' Bujur Timur. Dengan ketinggian 2914 m diatas permukaan air laut. Berada pada titik persilangan sesar Transversal perbatasan DIY dan Jawa Tengah serta sesar Longitudinal lintas Jawa (lihat Triyoga Lucas Sasongko 1990, Manusia Jawa & Gunung Merapi Persepsi dan Sistem Kepercayaanya, Gadjahmada Univ. Press). Meletus lebih dari 37 kali, terbesar pada tahun 1972 yang menewaskan 3000 jiwa. Terakhir meletus pada Selasa Kliwon tanggal 22 November 1994, dengan korban tewas lebih dari 50 orang


Mitologi G. Merapi.


Untuk memahami mitologi Gunung Merapi tidak bisa terlepas dari filosofi Kota Yogyakarta dengan karaton sebagai pancernya. Kota ini terbelah oleh sumbu imajiner yang menghubungkan Laut Kidul, Parangkusumo - Panggung Krapyak - Karaton - Tugu Pal Putih dan Gunung Merapi. Secara filosofis hal ini dibagi menjadi dua aspek, yaitu Jagat Alit dan Jagat Ageng.


Jagat alit, yang mengurai proses awal-akhir hidup dan kehidupan manusia dengan segala perilaku yang lurus sehingga terpahaminya hakekat hidup dan kehidupan manusia, digambarkan dengan planologi Kota Yogyakarta sebagai Kota Raja pada waktu itu. Planologi kota ini membujur dari selatan ke utara berawal dari Panggung Krapyak, berakhir di Tugu Pal Putih. Hal ini menekankan hubungan timbal balik antara Sang Pencipta dan manusia sebagai ciptaannnya (Sangkan Paraning dumadi).


Dalam perjalanan hidupnya manusia tergoda oleh berbagai macam kenikmatan duniawi. Godaan tersebut dapat berupa wanita dan harta yang digambarkan dalam bentuk pasar Beringharjo. Adapun godaan akan kekuasaan digambarkan oleh komplek Kepatihan yang kesemuanya berada pada sisi kanan pada jalan lurus antara kraton dan Tugu Pal Putih, sebagai lambang manusia yang dekat dengan pencipta-Nya (Manunggalaing Kawula Gusti).


Jagat Ageng, yang mengurai tentang hidup dan kehidupan masyarakat, di mana sang pemimpin masyarakat siapapaun dia senantiasa harus menjadikan hati nurani rakyat sebagai isteri pertama dan utamanya guna mewujudkan kesejahteraan lahir bathin bagi masyarakat dilandasi dengan keteguhan dan kepercayaan bahwa hanya satu pencipta yang Maha Besar. Jagat Ageng ini digambarkan dengan garis imajiner dari Parangkusuma di Laut selatan - Karaton Yogyakarta - Gunung Merapi. Hal ini lebih menekankan hubungan antara manusia yang hidup di dunia dimana seorang manusia harus memahami terlebih dahulu hakekat hidup dan kehidupannya sehingga mampu mencapai kesempurnaan hidup (Manungggaling Kawula Gusti).


Gunung Merapi menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa, diyakini sebagai pusat kerajaan mahluk halus, sebagai "swarga pangrantunan", dalam alur perjalanan hidup yang digambarkan dengan sumbu imajiner dan garis spiritual kelanggengan yang menghubungkan Laut Kidul - Panggung krapyak - Karaton Yogyakarta - Tugu Pal Putih - Gunung Merapi. Simbol ini mempunyai makna tentang proses kehidupan manusia mulai dari lahir sampai menghadap kepada sang Maha Pencipta.


Menurut foklor yang diceritakan oleh Juru Kunci Merapi yang bernama R. Ng. Surakso Hargo atau sering disebut mbah Marijan disebutkan bahwa konon Karaton Merapi ini dikuasai oleh Empu Rama dan Empu Permadi. Dahulu sebelum kehidupan manusia, keadaan dunia miring tidak stabil. Batara Guru memerintahkan kepada kedua Empu untuk membuat keris, sebagai pusaka tanah Jawa agar dunia stabil. Namun belum selesai keburu mengutus para Dewa untuk memindahkan G. Jamurdipa yang semula berada di Laut Selatan ke Pulau Jawa bagian tengah, utara Kota Yogyakarta (sekarang) dimana kedua Empu tersebut sedang mengerjakan tugasnya. Karena bersikeras berpegang pada "Sabda Pendhita Ratu" (satunya kata dan perbuatan) serta tidak mau memindahkan kegiatannya, maka terjadilah perang antara para Dewa dengan kedua Empu tadi yang akhirnya dimenangkan oleh kedua Empu tersebut.


Mendengar kekalahan para Dewa, Batara Guru memerintahkan Batara Bayu untuk menghukum keduanya dengan meniup G. Jamurdipa sehingga terbang diterpa angin besar ke arah utara dan jatuh tepat diatas perapian dan mengubur mati Empu Rama dan Permadi. Namun sebenarnya dia tidak mati hanya berubah menjadi ujud yang lain dan akhirnya menguasai Kraton makhluk halus di tempat itu. Sejak itu arwahnya dipercaya untuk memimpin kerajaan di Gunung Merapi tersebut. Masyarakat Karaton Merapi adalah komunitas arwah mereka yang tatkala hidup didunia melakukan amal yang baik. Bagi mereka yang selalu melakukan amalan yang jelek arwahnya tidak bisa diterima dalam komunitas mahluk halus Karaton Merapi, biasanya terus nglambrang kemana-mana lalu hinggap di batu besar, jembatan, jurang dsb menjadi penunggu tempat tersebut.


Menurut cerita rakyat yang lain yang juga diceritakan oleh mbah Marijan : Konon pada masa kerajaan Mataram tepatnya pada pemerintahan Panembahan Senopati Pendiri Dinasti Mataram (1575-1601). Panembahan Senopati mempunyai kekasih yang bernama Kanjeng Ratu Kidul, Penguasa Laut Selatan. Ketika keduanya sedang memadu kasih dia diberi sebutir "endhog jagad" (telur dunia) untuk dimakan. Namun dinasehati oleh Ki Juru Mertani agar endog jagad tersebut jangan dimakan tapi diberikan saja kepada Ki Juru Taman. Setelah memakannya ternyata Juru Taman berubah menjadi raksasa, dengan wajah yang mengerikan. Kemudian Panembahan Senopati memerintahkan kepada si raksasa agar pergi ke G. Merapi dan diangkat menjadi Patih Karaton Merapi, dengan sebutan Kyai Sapujagad. (Marijan 1996, wawancara)


Labuhan & Selamatan


Sebagai perwujudan kepercayaan Karaton Mataram terhadap keberadaan sekutu mistisnya yaitu Karaton Kidul (di Samodera Indonesia) dan Karaton Merapi ini, maka diselenggarakan prosesi Labuhan. Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya persembahan. Upacara adat karaton Mataram (Yogyakarta dan Surakarta) ini sebagai perwujudan doa persembahan kepada Tuhan YME agar karaton dan rakyatnya selalu diberi keselamatan dan kemakmuran. Labuhan biasanya diselenggarakan di beberapa tempat antara lain di : G. Merapi, Pantai Parangkusumo, G. Lawu dan Kahyangan Dlepih. Biasanya dilaksanakan untuk memulai suatu upacara besar tertentu seperti Tingalan Jumenengan. Barang-barang milik raja yang dilabuh antara lain : Semekan solok, semekan, kain cinde, lorodan layon sekar, guntingan rikmo, dan kenoko selama setahun, seperangkat busana sultan dan kuluk kanigoro.


Disamping labuhan ada beberapa upacara selamatan yang lain yang dilakukan oleh masyarakat setempat, seperti : Sedekah Gunung, Selamatan Ternak, Selamatan Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, Selamatan Mencari Orang Hilang, Selamatan Orang Kesurupan, Selamatan Sekul Bali, Selamatan Mengambil Jenazah, Selamatan Menghadapi Bahaya Merapi, dll. Dua diantaranya ditunjukkan oleh Upacara Becekan dan Upacara Banjir Lahar berikut ini.


Upacara Becekan, disebut juga Dandan Kali atau Memetri Kali yang berarti memelihara atau memperbaiki lingkungan sungai, berupa upacara meminta hujan pada musim kemarau yang berlangsung di Kalurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Air sungai sangat penting bagi penduduk setempat untuk keperluan pertanian. Konon sesudah diadakan upacara biasanya segera turun hujan sehingga tanah menjadi becek maka lalu disebut becekan. Becek diartikan juga sebagai sesaji berujud daging kambing yang dimasak gulai. Dusun yang melaksanakan upacara ini antara lain : Dusun Pagerjurang, Dusun Kepuh dan Dusun Manggong. Penyelenggaraannya dibagi menjadi beberapa tahap: Pertama, memetri sumur di Dusun Kepuh (di kawasan itu hanya dusun ini yang memiliki sumur); Kedua, Upacara Becekan dilakukan di tengah-tengah Sungai Gendol; Ketiga upacara khusus di masing-masing dusun. Upacara ini dimaksudkan untuk berdoa memohon hujan kepada Tuhan YME agar tanah menjadi subur, sehingga warga menjadi sehat, aman, selamat dan sejahtera. Waktu penyelenggaraan, menggunakan pranotomongso yaitu pada mongso kapat dan harinya Jumat Kliwon, jika pada mongso kapat tidak terdapat Jumat Kliwon diundur pada mongso kalimo, sebab hari itu dianggap keramat. Upacara ini dipimpin oleh seorang modin dan diikuti oleh warga ketiga dusun. Perlu diketahui bahwa seluruh rangkaian acara ini harus dilakukan/diikuti oleh kaum laki-laki dan sesaji sama sekali tidak boleh disentuh oleh wanita serta kambing untuk sesaji harus kambing jantan.


Upacara Banjir Lahar, tradisi penduduk sekitar gunung berapi, khususnya dalam menanggapi bencana lahar. Salah satunya bisa disaksikan di Dusun Tambakan, Desa Sindumartani, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, sebagai salah satu desa yang sering dilewati bencana lahar (dingin atau panas) dari Gunung Merapi.


Upacara ini berupa doa mohon keselamatan dan perlindungan kepada Tuhan YME bagi segenap penduduk agar terhindar dari marabahaya, disertai dengan peletakan sesaji berupa kelapa muda di sungai yang diperkirakan akan dilewati lahar. Hal ini dilakukan bila telah melihat tanda-tanda alam akan datangnya bencana lahar yang telah mereka kenal secara turun temurun.


Penduduk yang bermukim di tepi sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi kadang mendengar suara-suara aneh di malam hari, misalnya gemerincing suara kereta kencana yang lewat. Konon merupakan pertanda bahwa Karaton Merapi sedang mengirimkan rombongan dalam rangka hajat untuk mengawinkan kerabatnya dengan salah satu penghuni Karaton Laut Kidul. Hal itu ditafsirkan sebagai pertanda mistis bahwa sebentar lagi akan terjadi banjir lahar yang akan melalui sungai itu, sehingga bagi mereka yang tahu akan segera membuat langkah-langkah pengamanan dan penyelamatan.


Adapun tujuan dari penyelenggaraan berbagai prosesi selamatan tersebut konon adalah untuk berdoa memohon keselamatan dan kelimpahan rejeki kepada Tuhan YME serta memberi sedekah kepada makhluk halus penghuni Merapi agar tidak mengganggu penduduk, damai dan terbebas dari marabahaya, sehingga tercipta satu harmoni antara manusia dan lingkungan alam. Apabila perilaku manusia negatif maka maka alampun akan negatif pula.


Konsep keseimbangan yang menjadi kearifan penduduk sekitar Gunung Merapi merupakan implementasi dari nilai-nilai yang mereka percaya bahwa para penghuni akan murka ketika menyimpang dari kaidah-kaidah alam yang benar dan seimbang. Letak harmoninya tidak saja terletak pada sesaji yang disediakan namun pada perilaku yang selalu diusahakan untuk tidak nyebal (menyimpang) dari kaedah-kaedah keseimbangan alam, yang selalu selaras serasi dan seimbang untuk menjaga keutuhan ekosistem.

Sejarah Kraton Solo



Kota Solo (Surakarta) merupakan sebuah kota tua yang berumur lebih dari 260 tahun yang sarat dengan peristiwa sejarah bagi bangsa Indonesia. Sebut saja peristiwa lahirnya Serikat Islam pada 1911, di mana saat itu reaksi wong Solo bergolak atas campur tangan ekonomi kolonial. Kemudian, peristiwa pemberontakan faham komunis yang dipimpin Haji Mizbah yang bisa menguasai kereta api pada 1924.

Dalam konteks Kota Solo, kelahiran kota ini sendiri merupakan peristiwa sejarah yang ditandai perpindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala. Pemilihan lokasi dibangunnya Keraton Surakarta sendiri bermakna bagi eksistensi kerajaan. Konsep ‘kutaraja’ yang dikelilingi benteng Baluwarti dihadirkan di lokasi yang awalnya pusat perdagangan Bengawan Solo, mengingat di sana ada pertemuan sejumlah sungai yang waktu itu merupakan sarana transportasi perdagangan.

Awalnya, lokasi dibangunnya keraton berupa kedung, dan merupakan pertemuan sejumlah sungai. Ada Sungai Batangan yang bertemu dengan Sungai Tempuran. Lalu, Sungai Laweyan atau Banaran yang bertemu dengan Sungai Batangan. Sementara dari arah selatan ada Sungai Wingko dan dari utara ada Sungai Pepe.

Beberapa kitab Jawa, baik dalam Babad Giyanti (1916, I), Babad Kartasura Pacinan (1940), maupun Babad Tanah Jawi (1941), kisah perpindahan Keraton dari Kartasura ke Surakarta hampir seragam. Ketika Sunan Paku Buwono II (1726–1749) kembali dari Ponorogo, (1742), ia menyaksikan kehancuran bangunan istana. Rusaknya bangunan istana itu disebabkan ulah dari para pemberontak Cina. Bagi Sunan, keadaan tersebut mendorong niatnya untuk membangun sebuah istana yang baru.

Kemudian, ia mengusulkan kepada para para punggawa kerajaan untuk membangun sebuah istana baru. Patih R Ad Pringgalaya dan beberapa bangsawan diajak berembug tentang rencana itu. Paku Buwono II berkeinginan membangun istana baru di tempat yang baru. Ia menghendaki, istana yang baru itu berada di sebelah timur istana lama, dekat dengan sungai Bengawan Sala. Hal ini dilakukan di samping untuk menjauhi pengaruh para pemberontak yang mungkin masih bersembunyi di kartasura, juga untuk menghapus kenangan buruk kehancuran istana Kartasura.

Akhirnya, Sunan mengutus utusan yang terdiri dari ahli negara, pujangga dan ahli kebatinan untuk mencari tempat yang cocok bagi pembangunan istana baru. Utusan itu terdiri dari Mayor Hohendorp, Adipati Pringgalaya, dan Adipati Sindurejo (masing-masing sebagai Patih Jawi ’Patih Luar’ dan Patih Lebet ‘Patih Dalam’), serta beberapa orang bupati.

Utusan itu diikuti juga oleh abdi dalem ahli nujum, Kyai T Hanggawangsa, RT Mangkuyuda, dan RT Puspanegara. Singkat cerita, mereka mendapatkan tiga tempat yang dianggap cocok untuk dibangun istana, yaitu Desa Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sana Sewu.

Setelah diadakan musyawarah, para utusan akhirnya memilih Desa Sala sebagai calon tunggal untuk tempat pembangunan istana baru, dan keputusan ini kemudian disampaikan kepada Sunan di Kartasura. Setelah Sunan menerima laporan dari para utusan tersebut, kemudian memerintahkan beberapa orang abdi dalem untuk meninjau dan memastikan tempat itu. Utusan itu adalah Panembahan Wijil, Abdi Dalem Suranata, Kyai Ageng Khalifah Buyut, Mas Pangulu Fakih Ibrahim, dan Pujangga istana RT Tirtawiguna (Tus Pajang, 1940:19-21).

Sesampainya di desa Sala, utusan tersebut menemukan suatu tempat yang tanahnya berbau harum, maka disebut Desa Talangwangi (tala=tanah; wangi=harum), terletak di sebelah barat laut desa Sala (sekarang menjadi kampung Gremet). Setelah tempat tersebut diukur untuk calon lokasi istana, ternyata kurang luas, maka selanjutnya para utusan melakukan “samadhi” (bertapa) untuk memperoleh ilham (“wisik”) tentang cocok atau tidaknya tempat tersebut dijadikan pusat istana. Mereka kemudian bertapa di Kedhung Kol (termasuk kampung Yasadipuran sekarang).

Setelah beberapa hari bertapa, mereka memperoleh ilham bahwa desa Sala sudah ditakdirkan oleh Tuhan menjadi pusat kerajaan baru yang besar dan bertahan lama (Praja agung kang langgeng). Ilham tersebut selanjutnya memberitahukan agar para utusan menemukan Kyai Gede Sala (sesepuh desa Sala). Orang itulah yang mengetahui ‘sejarah’ dan cikal bakal desa Sala . Perlu diketahui, bahwa nama Kyai Gede Sala berbeda dengan Bekel Ki Gede Sala, seorang bekel yang menepalai desa Sala pada jman Pajang. Sedang Kyai Gede Sala adalah orang yang mengepalai desa Sala pada jaman kerajaan Mataram Kartasura (Pawarti Surakarta, 1939:6-7).

Selanjutnya Kyai Gede Sala menceritakan tentang desa Sala sebagai berikut. Ketika jaman Pajang, salah seorang putera Tumenggung Mayang, Abdi Dalem kerajaan Pajang, bernama Raden Pabelan, dibunuh di dalam istana, sebaba ketahuan bermain asmara dengan puteri Sekar Kedaton atau Ratu Hemas, puteri Sultan Hadiwijaya, raja Pajang (Atmodarminto, 1955:83; Almanak Cahya Mataram, 1921:53; Dirjosubrata, 1928:75-76). Selanjutnya mayat raden Pabelan dihanyutkan (dilarung) di sungai Lawiyan (sungai Braja), hanyut dan akhirnya terdampar di pinggir sungai dekat Desa Sala. Bekel Kyai Sala yang saat itu sebagai penguasa Dsa Sala, pagi hari ketika ia pergi kesungai melihat mayat. Kemudian mayat itu didorong ke tengah sungai agar hanyut. Memang benar, mayat itu hanyut dibawa arus air sungai Braja.

Pagi berikutnya, kyai Gede Sala sangat heran karena kembali menemukan mayat tersebut sudah di tempatnya semula. Sekali lagi mayat itu dihanyutkan ke sungai. Namun anehnya, pagi berikutnya peristiwa sebelumnya berulang lagi. Mayat itu kembali ke tempat semula, sehingga Kyai Gede Sala menjadi sangat heran. Akhirnya ia maneges, minta petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa atas peristiwa itu. Setelah tiga hari tiga malam bertapa, Kyai Gede Sala mendapat ilham atau petunjuk. Ketika sedang bertapa, seakan-akan ia bermimpi bertemu dengan seorang pemuda gagah. Pemuda itu mengatakan, bahwa dialah yang menjadi mayat itu dan mohon dengan hormat kepada Kyai Gede Sala agar dia dikuburkan di situ.

Namun sayang, sebelum sempat menanyakan tempat asal dan namanya, pemuda itu telah raib/menghilang. Akhirnya Kyai Gede Sala menuruti permintaan pemuda tersebut, dan mayatnya dimakamkan di dekat desa Sala. Karena namanya tidak diketahui, maka mayat itu desebut Kyai Bathang (bathang=mayat). Sedangkan tempat makamnya disebut Bathangan (makam itu sekarang berada di kawasan Beteng Plaza, Kelurahan Kedung Lumbu). Dengan adanya Kyai Bathang itu, desa Sala semakin raharja (Sala=raharja_, kehidupan rakyatnya serba kecukupan dan tenang tenteram (Roorda, 1901:861).

Demikian cerita singkat Kyai Gede Sala. Kuburan itu terletak di tepi rawa yang dalam dan lebar. Keadaan ini kemudian oleh para utusan dilapokan kepada Sunan di Kartasura.

Sesudah Sunan Paku Buwana II menerima laporan, maka segera memerintahkan kepada Kyai Tohjaya dan Kyai Yasadipura (I), serta RT. Padmagara, untuk mengupayakan agar desa Sala dapat dibangun istana baru. Ketigautusan tersebut kemudian pergi ke desa Sala. Sesampainya di desa Sala, mereka berjalan mengelilingi rawa-rawa yang ada disekeliling desa Sala.

Akhirnya, mereka dapat menemukan sumber Tirta Amerta Kamandanu (air kehidupan, sumber mata air). Hal itu dilaporkan kepada Sunan, dan kemudian Sunan memutuskan bahwa desa Sala-lah yang akan dijadikan pusat istana baru. Sunan segera memerintahkan agar pembangunan istana segera dimulai. Atas perintah Sunan, seluruh Abdi Dalem dan Sentana dalem membagi tugas: Abdi Dalem mancanegara Wetan dan Kilen dimintai balok-balok kayu, jumlahnya tergantung pada luas wilayahnya. Balok-balok kayu tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam rawa di desa Sala sampai penuh. Meskipun demikian belum dapat menyumbat mata air rawa tersebut, bahkan airnya semakin deras.

Sanadyan kelebetana sela utawi balok ingkang ageng-ageng ngantos pinten-pinten ewu, meksa mboten saget pampet, malah toya saya ageng ambalaber pindha samodra.(Tus Pajang, 1940:24-25).

(Walaupun diberi batu ataupun balok-balik kayu yang besar-besar sampai beribu-ribu banyaknya, terpaksa tidak dapat tertutup, bahkan keluarnya air semakin besar dan menyeruap bagaikan samudra).

Bahkan lebih mengherankan lagi, dari sumber air tersebut keluar berbagai jenis ikan yang biasa hidup di air laut (teri pethek, dsb). Menyaksikan kejadian itu, Panembahan Wijil dan Kyai Yasadipura bertapa selama tujuh hari tujuh malam tanpa makan dan tidur. Akhirnya pada malam hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) Kyai Yasadipura mendapatkan ilham sebagai berikut:

He kang padha mangun pujabrata, wruhanira, telenging rawa iki ora bisa pampet amarga dadi tembusaning samodra kidul. Ewadene yen sira ngudi pampete, kang dadi saranane, tambaken Gong Kyai Sekar Dlima godhong lumbu, lawan sirah tledhek, cendhol mata uwong, ing kono bisa pampet ponang teleng. Ananging ing tembe kedhung nora mili nora pampet, langgeng toyanya tan kena pinampet ing salawas-lawase (Pawarti Surakarta, 1939:7).

(Hai, kalian yang bertapa, ketahuilah, bahwa pusat rawa ini tidak dapat ditutup, sebab menjadi tembusannya Lautan Selatan. Namun demikian bila kalian ingin menyumbatnya gunakan cara: gunakan Gong Kyai Sekar Delima, daun lumbu (talas), dan kepala ronggeng, cendol mata orang, disitulah pasti berhenti keluarnya mata air. Akan tetapi besok kenghung itu tidak akan mengalir, tetapi juga tidak berhenti mengeluarkan air, kekal tidak dapat disumbat selama-lamanya).

Penerimaan ilham tersebut terjadi pada hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) tanggal 28 Sapar, Jimawal 1669 (1743 Masehi) (Yasadipura II, 1916: 17-18). Segala kejadian tersebut kemudian dilaporkan kepada Sunan di Kartasura. Sunan sangat kagum mendengar laporan tersebut dan setelah berpikir keras akhirnya Sunan bersabda:

Tledhek iku tegese ringgit saleksa. Dene Gong Sekar Dlima tegese gangsa, lambe iku tegese uni. Dadi watake bebasan kerasan. Gong Sekar Delima, dadi sekaring lathi, ingkang anggambaraken mula bukane nguni iku Kyai Gede Sala. Saka panimbang iku udanegarane kabener anampi sesirah tledhek arta kehe saleksa ringgit (cendhol mata uwonng), mangka liruning kang dadi wulu wetuning desa tekan ing sarawa-rawa pisan (Pawarti Surakarta, 1939:8).

“Tledhek” berarti sepuluh ribu ringgit. Gong Sekar Delima berarti “gangsa”, bibir atau ujar (perkataan). Jadi bersifat perumpamaan. Gong Sekar Delima menjadi buah bibir yang menggambarkan asal mula/cikal bakal (desa) yaitu Kyai Gede Sala. Atas pertimbangan itu sepantasnya menerima ganti uang sebanyak sepuluh ribu ringgit. Sebagai ganti rugi penghasilan desa beserta rawa-rawanya.

Demikian akhirnya Kyai Gede Sala memperoleh ganti rugi sebesar sepuluh ribu ringgit (saleksa ringgit) dari Sunan. Selanjutnya Kyai Gede Sala bertapa di makam Kyai Bathang. Di dalam bertapa itu Kyai Gede Sala memperoleh “Sekar Delima Seta” (putih) dan daun lumbu (sejenis daun talas). Kedua barang tersebut dimasukkan ke dalam sumber mata air (Tirta Amerta Kamandanu). Sesudah itu dilakukan kerja bhakti (gugur gunung) menutup rawa. Akhirnya pekerjaan itu selesai dengan cepat. Penghuninya dipindahkan dan dimukimkan kembali di tempat lain (“wong cilik ing desa Sala kinen ngalih marang ing desa Iyan sami”). Kemudian pembangunan dimulai dengan menguruk tanah yang tidak rata dan dibuat gambar awal dengan mengukur panjang dan lebarnya (“ingkur amba dawane”). Puluhan ribu (leksan) buruh bekerja di proyek pembangunan itu. Dinding-dinding pertama dibangun dari bambu karena waktunya mendesak. Adapun desain umumnya mencontoh model Karaton Kartasura (“anelad Kartasura”) (Lombard, III: 109).

Mengapa pilihan jatuh di Desa Sala, ada beberapa alasan yang dapat diajukan, baik dilihat secara wadhag atau fisik-geografis maupun alasan magis-religius. Desa Sala letaknya dekat dengan Bengawan Sala, yang sejak lama mempunyai arti penting dalam hubungan sosial, ekonomi, politik, dan militer antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sebuah sumber menyebutkan, Bengawan Sala atau atau Bengawan Semanggi mempunyai 44 bandar (Fery Charter abad ke-14), salah satunya bernama Wulayu atau Wuluyu atau sama dengan desa Semanggi (bandar ke-44). Dalam Serat Wicara Keras disebutkan, Bengawan Sala sebagai Bengawannya orang Semanggi (bandingkan dengan Babad Tanah Jawi).

Alasan lainnya, di desa Sala cukup tenaga kerja untuk membuat Karaton karena dikelilingi oleh desa Semanggi, Baturana, dan Babudan (dua desa yang terakhir merupakan tempat Abdi Dalem pembuat babud permadani pada jaman Kartasura). Desa Sala sendiri zaman Padjang dibawah bekel Kyai Sala. Alasan politis juga dapat dimasukkan, terutama dalam menjaga kepentingan VOC. Untuk mengawasi Mataram maka VOC membangun benteng di pusat kota Mataram yang mudah dijangkau dari Semarang sebagai pintu gerbang ke pedalaman.

Sementara itu terdapat sejumlah alasan magis-religius seperti berikut ini. Pertama, desa Sala terletak di dekat tempuran, yaitu bertemunya Sungai Pepe dan Bengawan Sala. Tempuran merupakan tempat magis dan sakral. Dismping itu, kata Sala atau Qala dihubungkan dengan bangunan suci. Kata itu berarti ruangan atau bangsal besar dan telah disebut-sebut dalam OJO no. XLIII (920) dengan istilah Kahyunan. Di Qala tedapat sekolah Prahunan (sekarang kampung praon) di dekat muara Sungai Pepe, yang artinya bangunan suci di Hemad (I Hemad atau Ing Hemad, Ing Gemad = Gremet). “Ning peken ri hemad”, artinya di pasar ngGremet, tempat dilakukan upacara penyumpahan mendirikan tempat swatantra perdikan di Sala.

Pembangunan Karaton segera dimulai setelah rawa-rawa berhasil dikeringkan dan tempatnya dibersihkan. Untuk mengurug Karaton, tanahnya diambil dari desa Talawangi. (dalam sebuah sumber lain disebutkan, “hawit iku pada kalebu hing jangka, sak mangsa-mangsa ndandani Kadaton bakal njupuk hurug lemah Kadipala (Tetedakan sangking Buk Ha: Ga, Sana Pustaka). Jadi tanah Talawangi dan tanah Sala kedua-duanya dipakai untuk pembangunan Karaton. Karaton telah berdiri meskipun belum dipagari batu dan baru dari bambu (jaro bethek). Sirnaning Resi Rasa Tunggal (1670) menandai saat pengerjaan Karaton selesai, meskipun nampak tergesa-gesa. (heriyono)

Berebut Tahta Kerajaan
PascaSunan Pakubuwono XII ‘mangkat’ beberapa waktu lalu (11 Juni 2004), terjadi perebutan kekuasaan ‘siapa yang berhak menjadi raja’. Peristiwa perebutan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro Sudibyo Raja Putra Narendra Mataran VIII atau disingkat Paku Buwono XIII, membuat kalangan kerajaan terpecah menjadi dua bagian, yakni antara pendukung Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dan KGPH Tedjowulan.

Keduanya merasa mempunyai hak untuk menduduki tahta kerajaan. Peristiwa ini secara tidak langsung mengingatkan masyarakat Indonesia dengan ‘sejarah kelam’ yang terjadi pada 1755 lampau. Saat itu, terjadi peristiwa Perjanjian Giyanti yang memecah Dinasti Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dahulu, perpecahan (perebutan kekuasaan) selalu dikaitkan dengan politik memecah belah atau devide et impera penjajah Belanda yang ingin menancapkan kekuasaan di Tanah Jawa. Namun, saat ini sulit dipungkiri, perpecahan didorong nafsu berkuasa para elit Kasunanan Surakarta.

Menurut beberapa kalangan, rebutan tahta ini sebenarnya tak akan terjadi kalau saja Paku Buwono XII mengangkat permaisuri. Sehingga, secara langsung putra mahkota adalah anak sulung dari permaisuri. Namun, semasa hidupnya, Paku Buwono XII hanya memiliki garwa ampil atau selir dengan 37 anak. Sejarawan Sumanto dalam suatu kesempatan mengatakan, alasan Paku Buwono XII tidak berpermaisuri bisa jadi karena Kasunanan Surakarta lebih berfungsi sebagai wilayah kebudayaan. Di luar kompleks keraton, kekuasaan raja tidaklah dominan.

KGPH Hangabehi adalah putra tertua Paku Buwono XII dari selir ketiga Gusti Raden Ayu (GRAy) Pradapaningrum. Karena itulah, Hangabehi merasa dirinyalah yang berhak memangku tahta kerajaan. Sementara itu, keluarnya Surat Keputusan Nomor Kep/01/2003 dari tiga pengageng, yakni Pengageng Parentah Keraton, Pengageng Putrasentana, dan Pengageng Parentah Kaputren, mengangkat KGPH Tedjowulan sebagai penerus tahta kerajaan Keraton Surakarta.

Menurut versi KGPH Hangabehi, kapasitasnya sebagai putra lelaki tertua, berhak menjadi pengganti Paku Buwono XII. Karena menurut pandangan pihak Hangabehi, jika tidak ada putra mahkota atau putra yang ditunjuk secara langsung oleh raja pendahulu, maka putra lelaki tertualah yang berhak menjadi raja.

Di sisi lain KGPH Tedjowulan juga menganggap memiliki hak yang sama, karena telah diangkat oleh tiga pengageng Keraton. Menurut pandangan pihak Tedjowulan, bila tidak ada putra mahkota, maka tiga lembaga resmi keraton inilah yang berhak menentukan pengganti raja.

Lantas yang menjadi pertanyaan adalah, sampai kapankah konflik internal ini akan terus berlangsung? Apakah mungkin dalam satu tahta kerajaan ada dua raja kembar? Dan, mungkinkah mereka akan berdamai serta salah satu pihak ada yang mengalah demi kepentingan Keraton Surakarta? Wallualam.

Sumber: herijurnalis

Selasa, 16 November 2010

LIR ILIR (Mengenang Tembang Dakwah Sunan Kalijaga)


 
 
 
 












Lir-ilir, Lir Ilir

Tandure wus sumilir

Tak ijo royo-royo

Tak sengguh temanten anyar

Cah Angon, Cah Angon

Penekno Blimbing Kuwi

Lunyu-lunyu penekno

Kanggo Mbasuh Dodotiro

Dodotiro Dodotiro

Kumitir Bedah ing pinggir

Dondomono, Jlumatono

Kanggo Sebo Mengko sore

Mumpung Padhang Rembulane

Mumpung Jembar Kalangane

Yo surako surak Iyo!!!



Tembang diatas pasti sudah akrab ditelinga kita apalagi bagi orang-orang jawa yang notabene berada dalam wilayah penyebaran agama Wali Songo tidak sedikit orang yang mencoba untuk menguraikan makna tembang diatas baik dalam konteks hubungannya dengan sejarah, syariat Islam bahkan Hakikat yang terkandung di dalamnya.


Pada tulisan singkat ini Khaylif mencoba untuk sedikit menguraikan makna dari tembang tersebut, jika ada kekurangan atau kesalahan adalah karena keterbatasan Khaylif dalam pemahaman semoga Alloh memaafkan dan jika ada kebaikannya hal itu semata-mata datang dari Alloh SWT


Makna tembang tersebut menurut Khaylif:


1. Lir-ilir, Lir-ilir (Bangunlah, bangunlah)
Tandure wus sumilir (Tanaman sudah bersemi)
Tak ijo royo-royo (Demikian menghijau)
Tak sengguh temanten anyar (Bagaikan pengantin baru)
Makna: Sebagai umat Islam kita diminta bangun. Bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Alloh dalam diri kita yang dalam ini dilambangkan dengan Tanaman yang mulai bersemi dan demikian menghijau. Terserah kepada kita, mau tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru.

2 Cah angon, cah angon (Anak gembala, anak gembala)
Penekno Blimbing kuwi (Panjatlah (pohon) belimbing itu)
Lunyu-lunyu penekno (Biar licin dan susah tetaplah kau panjat)
Kanggo mbasuh dodotiro (untuk membasuh pakaianmu)
Makna: Disini disebut anak gembala karena oleh Alloh, kita telah diberikan sesuatu untuk digembalakan yaitu HATI. Bisakah kita menggembalakan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya?
Si anak gembala diminta memanjat pohon belimbing yang notabene buah belimbing bergerigi lima buah. Buah belimbing disini menggambarkan lima rukun Islam. Jadi meskipun licin, meskipun susah kita harus tetap memanjat pohon belimbing tersebut dalam arti sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya.
Lalu apa gunanya? Gunanya adalah untuk mencuci pakaian kita yaitu pakaian taqwa.

3. Dodotiro, dodotiro (Pakaianmu, pakaianmu)
Kumitir bedah ing pinggir (terkoyak-koyak dibagian samping)
Dondomono, Jlumatono (Jahitlah, Benahilah!!)
Kanggo sebo mengko sore (untuk menghadap nanti sore)
Makna: Pakaian taqwa kita sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang di sana sini, untuk itu kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil menghadap kehadirat Alloh SWT.

4. Mumpung padhang rembulane (Mumpung bulan bersinar terang)
Mumpung jembar kalangane (mumpung banyak waktu luang)
Yo surako surak iyo!!! (Bersoraklah dengan sorakan Iya!!!)
Makna: Kita diharapkan melakukan hal-hal diatas (no 1-3) ketika kita masih sehat (dialambangkan dengan terangnya bulan) dan masih mempunyai banyak waktu luang dan jika ada yang mengingatkan maka jawablah dengan Iya!!!

Lir ilir, judul dari tembang di atas.
Bukan sekedar tembang dolanan biasa, tapi tembang di atas mengandung makna yang sangat mendalam.

Tembang karya Kanjeng Sunan ini memberikan hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah.

Carrol McLaughlin, seorang profesor harpa dari Arizona University terkagum kagum dengan tembang ini, beliau sering memainkannya.

Maya Hasan, seorang pemain Harpa dari Indonesia pernah mengatakan bahwa dia ingin mengerti filosofi dari lagu ini.

Para pemain Harpa seperti Maya Hasan (Indonesia), Carrol McLaughlin (Kanada), Hiroko Saito (Jepang), Kellie Marie Cousineau (Amerika Serikat), dan Lizary Rodrigues (Puerto Rico) pernah menterjemahkan lagu ini dalam musik Jazz pada konser musik “Harp to Heart“.



Apakah makna mendalam dari tembang ini?
Mari kita coba mengupas maknanya


Lir-ilir, lir-ilir tembang ini diawalii dengan ilir-ilir yang artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (karena sejatinya tidur itu mati) bisa juga diartikan sebagai sadarlah.

Tetapi yang perlu dikaji lagi, apa yang perlu untuk dibangunkan?
Apa yang perlu dihidupkan?
hidupnya Apa ?
Ruh?
kesadaran ?
Pikiran?

terserah kita yang penting ada sesuatu yang dihidupkan, dan jangan lupa disini ada unsur angin, berarti cara menghidupkannya ada gerak..(kita fikirkan ini)..gerak menghasilkan udara. ini adalah ajakan untuk berdzikir. Dengan berdzikir, maka ada sesuatu yang dihidupkan.

tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar.
Bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan pohon yang hijau dan indah.
Pohon di sini artinya adalah sesuatu yang memiliki banyak manfaat bagi kita.
Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai Raja-Raja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya.
Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi. Mengapa kok “Cah angon” ?
Bukan “Pak Jendral” , “Pak Presiden” atau yang lain? Mengapa dipilih “Cah angon” ?

Cah angon maksudnya adalah seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar. Lalu,kenapa “Blimbing” ?

Ingat sekali lagi, bahwa blimbing berwarna hijau (ciri khas Islam) dan memiliki 5 sisi. Jadi blimbing itu adalah isyarat dari agama Islam, yang dicerminkan dari 5 sisi buah blimbing yang menggambarkan rukun Islam yang merupakan Dasar dari agama Islam.
Kenapa “Penekno” ?

ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk mengambil Islam dan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejak para Raja itu dalam melaksanakan Islam.
Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro. Walaupun dengan bersusah payah, walupun penuh rintangan, tetaplah ambil untuk membersihkan pakaian kita. Yang dimaksud pakaian adalah taqwa. Pakaian taqwa ini yang harus dibersihkan.

Dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir. Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa“.
dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore. Pesan dari para Wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu. Maka benahilah dan sempurnakanlah ke-Islamanmu agar kamu selamat pada hari pertanggungjawaban kelak.

Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane. Para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata, ketika usia masih menempel pada hayat kita.
Yo surako surak hiyo. Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan.


Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :25)



* Diambil dari berbagai sumber. Mohon dikoreksi jika ada kesalahan, karena saya juga manusia yang tak pernah lepas dari salah dan dosa.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari note/video ini

Pujangga Besar Jawa - Serat Sabdo Jati

Hawya pegat ngudiya Ronging budyayu Margane suka basuki Dimen luwar kang kinayun Kalising panggawe sisip Ingkang taberi prihatos


Jangan berhenti selalulah berusaha berbuat kebajikan,
agar mendapat kegembiraan serta keselamatan serta tercapai segala cita-cita,
terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan, caranya haruslah gemar prihatin.

Ulatna kang nganti bisane kepangguh Galedehan kang sayekti Talitinen awya kleru Larasen sajroning ati Tumanggap dimen tumanggon


Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama,
intropeksi, telitilah jangan sampai salah, endapkan didalam hati,
agar mudah menanggapi sesuatu.

Pamanggone aneng pangesthi rahayu Angayomi ing tyas wening Eninging ati kang suwung Nanging sejatining isi Isine cipta sayektos


Dapatnya demikian kalau senantiasa mendambakan kebaikan,
mengendapkan pikiran, dalam mawas diri sehingga seolah-olah hati ini kosong
namun sebenarnya akan menemukan cipta yang sejati.

Lakonana klawan sabaraning kalbu Lamun obah niniwasi Kasusupan setan gundhul Ambebidung nggawa kendhi Isine rupiah kethon

Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran.
Sebab jika bergeser (dari hidup yang penuh kebajikan)
akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul,
yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.

Lamun nganti korup mring panggawe dudu Dadi panggonaning iblis Mlebu mring alam pakewuh Ewuh mring pananing ati Temah wuru kabesturon


Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan,
sudah jelas akan menjadi sarang iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, kerepotan-kerepotan, tidak dapat berbuat dengan itikad hati yang baik,
seolah-olah mabuk kepayang.

Nora kengguh mring pamardi reh budyayu Hayuning tyas sipat kuping Kinepung panggawe rusuh Lali pasihaning Gusti Ginuntingan dening Hyang Manon


Bila sudah terlanjur demikian tidak tertarik terhadap perbuatan
yang menuju kepada kebajikan. Segala yang baik-baik lari dari dirinya,
sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek.
Sudah melupakan Tuhannya. Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping.
Parandene kabeh kang samya andulu Ulap kalilipen wedhi Akeh ingkang padha sujut Kinira yen Jabaranil Kautus dening Hyang Manon


Namun demikian yang melihat, bagaikan matanya kemasukan pasir,
tidak dapat membedakan yang baik dan yang jahat, sehingga
yang jahat disukai dianggap utusan Tuhan.
Yeng kang uning marang sejatining dawuh Kewuhan sajroning ati Yen tiniru ora urus Uripe kaesi-esi Yen niruwa dadi asor


Namun bagi yang bijaksana, sebenarnya repot didalam pikiran
melihat contoh-contoh tersebut. Bila diikuti hidupnya akan
tercela akhirnya menjadi sengsara.
Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung Anggelar sakalir-kalir Kalamun temen tinemu Kabegjane anekani Kamurahane Hyang Manon


Itu artinya tidak percaya kepada Tuhan, yang menitahkan bumi dan
langit, siapa yang berusaha dengan setekun-tekunnya akan mendapatkan
kebahagiaan. Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.
Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun Yen temen-temen sayekti Dewa aparing pitulung Nora kurang sandhang bukti Saciptanira kelakon


Segala permintaan umatNya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan setulus hati.
Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi
segala cita-cita dan kehendaknya tercapai.

Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur Saka pengunahing Widi Ambuka warananipun Aling-aling kang ngalingi Angilang satemah katon


Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan membuka selubung
yang termasuk rahasia Tuhan, sehingga dapat diketahui.

Para jalma sajroning jaman pakewuh Sudranira andadi Rahurune saya ndarung Keh tyas mirong murang margi Kasekten wus nora katon


Manusia-manusia yang hidup didalam jaman kerepotan,
cenderung meningkatnya perbuatan-perbuatan tercela,
makin menjadi-jadi, banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan
diatas riil kebenaran, keagungan jiwa sudah tidak tampak.

Katuwane winawas dahat matrenyuh Kenyaming sasmita sayekti Sanityasa tyas malatkunt Kongas welase kepati Sulaking jaman prihatos


Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin, merasakan ramalan tersebut,
senantiasa merenung diri melihat jaman penuh keprihatinan tersebut.

Waluyane benjang lamun ana wiku Memuji ngesthi sawiji Sabuk tebu lir majenum Galibedan tudang tuding Anacahken sakehing wong


Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877
(Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1. Itu bertepatan dengan tahun Masehi 1945).
Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila,
hilir mudik menunjuk kian kemari, menghitung banyaknya orang.

Iku lagi sirap jaman Kala Bendu Kala Suba kang gumanti Wong cilik bisa gumuyu Nora kurang sandhang bukti Sedyane kabeh kelakon


Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu. Diganti dengan jaman Kala Suba.
Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan makan
seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.
Pandulune Ki Pujangga durung kemput Mulur lir benang tinarik Nanging kaseranging ngumur Andungkap kasidan jati Mulih mring jatining enggon


Sayang sekali “pengelihatan” Sang Pujangga belum sampai selesai,
bagaikan menarik benang dari ikatannya.
Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir
datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.

Amung kurang wolung ari kang kadulu Tamating pati patitis Wus katon neng lokil makpul Angumpul ing madya ari Amerengi Sri Budha Pon


Yang terlihat hanya kurang 8 hai lagi, sudah sampai waktunya,
kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.

Tanggal kaping lima antarane luhur Selaning tahun Jimakir Taluhu marjayeng janggur Sengara winduning pati Netepi ngumpul sak enggon


Tanggal 5 bulan Sela
(Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu,
Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873)
kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan
sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.

Cinitra ri budha kaping wolulikur Sawal ing tahun Jimakir Candraning warsa pinetung Sembah mekswa pejangga ji Ki Pujangga pamit layoti


Karya ini ditulis dihari Rabu tanggal 28 Sawal tahun Jimakir 1802.
(Sembah=2, Muswa=0, Pujangga=8, Ji=1) bertepatan dengan tahun masehi 1873).
RADEN Mas Ngabehi Ronggowarsito. Demikian nama salah seorang pujangga terkenal yang pernah menorehkan jejak gemilang dalam kesusastraan Jawa di abad 19. Namanya senantiasa dikenang sebagai pujangga besar yang karya-karyanya tetap abadi hingga kini. Dari tangan pujangga asal Keraton Surakarta ini lahir berbagai karya sastra bermutu tinggi yang sarat nilai kemanusiaan. Buku-bukunya antara lain membahas falsafah, ilmu kebatinan, primbon, kisah raja, sejarah, lakon wayang, dongeng, syair, adat kesusilaan, dan sebagainya. Namun sebagian masyarakat Jawa, terutama rakyat jelata, sering mengidentikkan Ronggowarsito dengan karangan-karangan yang memadukan kesusastraan dengan ramalan yang penuh harapan, perenungan dan perjuangan.
Dilahirkan pada 15 Maret 1802 dengan nama asli Bagus Burham. Ayahnya seorang carik Kadipaten Anom yang bernama Raden Mas Pajangswara. Ibunya Raden Ayu Pajangswara merupakan keturunan ke-9 Sultan Trenggono dari Demak.

Bakat dan keahliannya dalam bidang kesusastraan semakin terasah dengan bimbingan kakeknya Raden Tumenggung Sastronegoro. Semenjak kecil, ia dibekali ajaran Islam dan pengetahuan yang bersandar pada ajaran kejawen, Hindu, Budha, serta ilmu kebatinan.

Karya-karya besarnya yang terkenal sampai saat ini adalah Serat Kalatidha yang berisi gambaran zaman penjajahan yang disebut "zaman edan". Ada kitab Jaka Lodhang yang berisi ramalan akan datangnya zaman baik, serta Sabdatama yang berisi ramalan tentang sifat zaman makmur dan tingkah laku manusia yang tamak.Menjelang akhir hayatnya, Ronggowarsito menulis buku terakhir Sabdajati yang di antaranya berisi ramalan waktu kematiannya sendiri. Buku ini pun berisi ucapan perpisahan dan permohonan pamit karena Ki Pujangga akan segera meninggalkan dunia fana ini.

Pada 24 Desember 1873, pujangga besar dari tanah Jawa itu meninggal dunia dengan tenteram. Tempat peristirahatan terakhirnya terletak di Palar, sebuah desa kecil di wilayah Klaten.